Singa yang mengobrak-abrik barisan musuh
adalah pahlawan kecil
dibandingkan singa yang menguasai dirinya
Baris di atas adalah penggalan sajak Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273), penyair terkenal dari Persia. Sajak berbahasa Indonesia itu diterjemahkan oleh HB Jassin dari versi bahasa Inggris yang ditulis oleh Edmund Kabir Helminski. Karya Rumi dianggap mencerahkan sehingga muncul terjemahan dalam berbagai bahasa. Sajak-sajak Rumi adalah karya agung yang kerap dijadikan kajian dan renungan.
Sajak Rumi telah menyentuh hati banyak kalangan dari berbagai latar belakang agama dan kebangsaan. Ya, Rumi bukanlah penulis syair cinta dan derita. Rumi menulis tentang kehidupan, batin, keislaman, dan sejarah dalam baris-baris yang indah, juga jenaka. Karya Rumi tertuang dalam enam kitab berjudul Matsnawi, serta Ghazal dan Ruba’iyyat.
Yang menarik, ada bagian sajak yang memakai sosok hewan (fabel), sebagai perumpamaan. Salah satu hewan yang cukup dominan di Matsnawi adalah singa.
Mengenal Rumi
Selagi anak belum dapat meraih atau berlari,
Ia dapat bergerak dengan menunggangi pundak ayahnya.
(Masnawi I, bait ke-923)
Sajak di atas adalah kenangan Rumi pada ayahnya, Bahauddin Walad, seorang ulama dan sufi, yang membimbingnya dalam banyak hal. Setidaknya bakat menulis Rumi diturunkan dari ayahnya. Dari catatan harian ayahnya, Rumi mendapatkan contoh bagaimana mengungkapkan pikiran dan perasaan melalui tulisan. Wawasan Rumi tentang sufisme dan sastra berkembang ketika ayahnya memperkenalkannya dengan penyair-penyair Persia terkenal, seperti Fadruddin Atthar.
Rumi juga mendapat pengalaman hidup yang kaya, yang dituangkannya dalam tulisan ketika dia dewasa, karena keluarganya selalu berpindah-pindah tempat tinggal. Bahauddin Walad mengajak keluarganya meninggalkan Balkh, sekarang Afghanistan, ketika Rumi berusia 6 tahun (sekitar 1213). Keluarga Walad menetap lama di Samarkand (sekitar 1213-1217). Di kota itu Rumi bersekolah untuk belajar agama serta ilmu umum, seperti matematika dan sains. Di usia 9-10 tahun Rumi mengikuti keluarganya melakukan perjalanan haji dengan melewati jalur perdagangan yang dilalui kafilah dari India, Cina, Arab dan Persia. Usai haji mereka sempat tingal di Larande, Turki (1222-1229). Kota itu menjadi kenangan bagi Rumi karena di sana dia menikah dan punya anak. Undangan untuk mengajar di kota Konya, Turki, membuat Bahauddin Walad mengajak keluarga besarnya pindah lagi. Konya adalah kota persinggahan terakhir Rumi (1229-1273).
Ketika Bahauddin wafat (1231), Rumi menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pemuka agama di Konya. Rumi terus belajar agama pada sahabat ayahnya, maupun berguru pada sufi-sufi di Suriah.
Kemampuan bersyairnya makin terasah setelah dia bertemu dengan seorang sufi bernama Syamsuddin Tabriz. Syam membimbingnya untuk meraih cinta Ilahi, dan Rumi pun terinspirasi menulis sajak-sajak tentang kehidupan, Tuhan, hubungan manusia dengan Tuhan, sejarah nabi, sifat manusia, dan semesta. Rumi tidak lagi mengajar tetapi memberi inspirasi dengan sajak-sajaknya.
Sesungguhnya Rumi tidak menulis sendiri sajak-sajaknya. Sahabatnya, Hisamuddin, dengan setia mengikutinya dan menulis kata-kata indah yang keluar dari mulut Rumi, baik baik di sekolah Rumi, di pemandian uap (khas Turki), atau di kebun anggur. Kadang siang, kadang malam. Kadang tidak ada sepatah kata pun yang diucapkan Rumi sekalipun Hisam telah mengikutinya.
Dengan cara itu Rumi menghasilkan 65.000 baris sajak, dalam 25.632 bait, dan dihimpun dalam enam jilid buku berjudul Matsnawi. Buku Matsnawi I ditulis dari tahun 1260 hingga 1262, dan jilid ke-6 rampung pada tahun 1273, beberapa saat sebelum Rumi wafat.
Fabel dalam Matsnawi I
Setiap jilid Matsnawi mempunyai tema besar. Jilid I tentang nafs (ego), jilid II tentang iblis; jilid III tentang akal; jilid IV tentang pengetahuan; jilid V tentang fakir; jilid VI tentang tauhid.
Matsnawi termasuk sastra lama Persia yang banyak mengandung nasihat atau kata-kata bijak. Nasihat itu disampaikan dengan perumpamaan, misalnya cerita hewan.
Fabel dalam Matsnawi bukan murni karya Rumi. Kisah-kisah hewan itu berasal dari buku kumpulan fabel berbahasa Sansekerta, Panchatantra, yang ditulis oleh sastrawan India kuno, Vishnu Sharma. Panchatantra diterjemahkan ke bahasa Persia Pertengahan oleh sastrawan Persia, Borzuya, sekitar abad ke-6 Masehi. Versi Persia Pertengahan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ibn’ al-Muqaffa pada abad ke-8. Judulnya diubah menjadi Kalila dan Dimna.
Ada kemungkinan Rumi mendapat inspirasi cerita fabel dari buku berbahasa Arab ini. Mungkin Rumi mendapatkannya dari sekolah, atau dari ayahnya, atau cerita itu memang berkembang dari mulut ke mulut di saat itu.
Ada dua cerita singa di dalam Matsnawi yang diambil dari Kalila dan Dimna, yaitu singa dan kelinci, serta singa, serigala dan rubah.
Sosok singa dipakai sebagai metafora mahluk dengan perubahan karakter. Rumi mengikuti tiga tahap nafsu yang disebutkan di Quran, yaitu nafs ammarah (nafsu yang mengarahkan pada keburukan, terdapat di Surah Yusuf ayat 53), lawwamah (nafsu penyesalan, terdapat di Surah Al-Qiyamah ayat 2), dan ketiga nafsu muthmainah (diri yang tenang, surah Al-Fajr ayat 27).
Perubahan dari nafsu amarah ke lawwamah dimungkinkan karena adanya akal, yaitu ketika seseorang melakukan refleksi. dan kemudian tersadar pada kekeliruan yang dilakukannya. Ketika seseorang mencapai tahap ketiga (muthmainah), berarti ia sampai tahap ruhani, dan meninggalkan hal-hal yang bersifat jasmani.
Pada tulisan bagian I ini saya membahas kisah tentang singa dan kelinci, sedangkan kisah singa, serigala dan rubah akan saya uraikan pada bagian ke-2.
Singa dan Kelinci
Pada bagian ini Rumi menggambarkan bagaimana seekor singa berubah sifat. Semula singa adalah sosok dengan “aku” besar, ingin diladeni, dan rakus, namun kemudian menjadi sosok yang sadar dengan kekhilafannya.
Safavi & Weightman di dalam Mystical Design membagi kisah itu dalam empat blok cerita.
Blok I, terdiri dari 10 subjudul dan mencakup 98 bait (196 baris). Blok ini mengisahkan bagaimana singa membuat resah sekumpulan hewan, seperti digambarkan dalam kedua bait ini.
Sekawanan hewan hidup di lembah yang tenang
terganggu dengan kedatangan seekor singa.
Singa itu memburu dan menyergap
sehingga padang rumput itu tak lagi nyaman.
(Bait ke-900 dan ke-901)
Hewan-hewan pun membujuk singa agar tidak mengganggu wilayah itu. Mereka berjanji akan menyediakan makanan untuk singa, dengan cara secara bergiliran datang untuk disantap singa. Raja hutan tidak percaya karena dia sudah sering diperdaya dengan janji. Hewan-hewan pun mengatakan bahwa singa harus percaya kepada kehendak Tuhan (qadha), bukan percaya pada pikiran sendiri.
Di dalam perdebatan antara singa dan kawanan hewan itu tercetus pesan bahwa setiap makhluk harus percaya bahwa Allah akan memberi rezeki yang cukup kepada makhluknya.
Ini kata hewan-hewan kepada singa:
Jangan mendebat Takdir, wahai jiwa yang pemarah dan tak sabar,
Agar Takdir juga tidak mengajakmu bertengkar.
(Bait ke-910)
Singa bersikukuh bahwa setiap makhluk harus melakukan ikhtiar:
“Ya,” kata singa;
“tetapi Tuhan telah menaruh tangga di depan kaki kita.
Selangkah demi selangkah kita harus menaiki tangga menuju puncak;
menjadi orang pasrah itu tindakan bodoh.
(Bait ke-929 dan 930)
Blok II menggambarkan percakapan kelinci (satu-satunya hewan yang menolak jadi santapan singa) dengan kumpulan hewan penghuni lembah. Blok ini terdiri dari tujuh subjudul, dan 56 bait (bait ke-989 hingga 1054).
Penolakan kelinci dinyatakan sebagai berikut:
“Kawan-kawan,” katanya, “beri aku kesempatan,
Siapa tahu dengan akalku kalian bisa selamat dari bahaya,
(Bait ke-1000 )
Terjadi perdebatan antara kelinci dan hewan-hewan. Kelinci tidak mau mengungkapkan apa yang akan dia lakukan, sementara kawanan hewan takut singa akan marah.
Blok III terdiri dari tujuh subjudul dan mencakup 147 bait (bait ke-1055 hingga ke-1201). Pada bait ini terdapat strategi kelinci untuk menaklukkan singa.
Kelinci menunda keberangkatan,
dan kemudian pergi mendatangi singa yang menggaruk-garuk tanah dengan cakarnya.
(Bait ke-1055)
Kelinci mengulur waktu sehingga singa marah. Dengan kemampuan bicaranya, kelinci dapat mengarahkan singa ke perigi.
Blok IV terdiri dari 10 subjudul, mencakup 188 bait (bait ke-1202 hingga 1389). Bagian ini berkisah tentang bagaimana singa melihat cerminan dirinya di perigi.
Singa melihat dirinya dirinya di perigi,
dan dalam kemarahan dia tidak menyadari perangkap lawan.
(Bait ke 1317)
Bagian terakhir ini menyimpulkan bahwa setelah kita melakukan refleksi (bercermin), kita akan dapat melihat kekhilafan kita.
Ketika kau mencapai dasar sifatmu,
kau akan tahu bahwa musuhmu adalah dirimu sendiri.
(Bait ke-1323)
Pesan Rumi
Rumi menceritakan kembali kisah singa dan kelinci, salah satu fabel dalam Kalila dan Dimna, sebagai metafora untuk penggambaran karakter manusia, serta pentingnya percaya kepada ketentuan Allah (qadha).
Di dalam cerita singa dan kelinci ini, singa merupakan perlambang dari nafs ammarah. Di dalam sifat itu terkandung kesombongan, kemarahan dan ego. Hewan-hewan merupakan perlambang dari kelompok spiritual (saya tarfsirkan sebagai sufi, wali, malaikat, atau insan “putih” yang lain ), sedangkan kelinci adalah lambang dari akal yang dapat menaklukkan amarah.
Cerita pertama tentang singa menggambarkan sosok hewan yang bengis dan egois. Singa yang sudah tenang (muthama’inah) dapat dijumpai pada kisah tentang singa dan rubah, pada bagian ke-2 tulisan ini.
Sampai jumpa!
Bacaan tentang Rumi
Masnawi dalam Bahasa Indonesia
Jalaluddin Rumi. (2008). Rumi’s Daily Secret, Renungan Harian untuk Mencapai Kebahagiaan. (Ali Audah, Penyunt., & HB Jassin, Penerj.) Yogyakarta: Bentang.
Jalaluddin Rumi. (2017). Masnawi, Senandung Cinta Abadi. (Abdul Hadi WM, Penerj.) Yogyakarta: IRCiSoD.
Maulana Rumi. (2021). Matsnawi Maknawi (Vol. I & II). (Muhammad Nur Jabir, Penerj.) Yogyakarta: DivaPress.
Buku Masnawi dalam Bahasa Inggris
Jalaluddin Rumi. (1994). Rumi Daylight. (Edmund Kabir Helminski, Penerj.) Boston: Shambala.
The Treshold Society. (2022). Mesnevi Resources, I-VI. Diambil kembali dari The Treshold Society: https://sufism.org/library/rumi-resources
Kajian Rumi
Annemarie Schimmel. (1980). The Triumphal Sun. London: East West Publication.
Seyed Safavi, & Simon Weightman. (2009). Rumi’s Mystical Design. Albany, NY: State University of New York Press.
Biografi
Brad Gooch. (2017). Rumi’s Secret. New York: Harper Collins.