Select Page

Singa dalam Sajak Jalaluddin Rumi (Bagian II)

Mengapa Jalaluddin Rumi, penyair dan sufi Persia, menulis tentang singa?

Sejak kecil Rumi menyukai cerita fabel Kalila dan Dimna,  dongeng yang populer di Persia abad ke-13. Kumpulan fabel itu berasal dari India yang diterjemahkan ke bahasa Persia Pertengahan, lalu ke bahasa Arab. Versi Arab itu yang didengar atau dibaca Rumi saat belia, dan menginspirasinya untuk menulis ulang cerita-cerita hewan dalam kumpulan fabel itu.

Komentar Rumi tentang Kalila dan Dimna ditulisnya di Masnawi I bait ke-809.

Seek the story from Kalila and Dimna,

and search out the moral in the story

Bacalah cerita di Kalila dan Dimna

Dan carilah pesan di dalam cerita

Dalam sajak itu Rumi mengatakan bahwa fabel Kalila dan Dimna perlu dicari, dibaca dan dicermati mengandung pesan moral.

Salah satu tokoh di dalam fabel yang kerap diceritakan Rumi adalah singa. Di buku sajaknya yang berjuduk Matsnawi, ada dua cerita singa yang diambilnya dari fabel Kalila dan Dimna, yaitu cerita singa dan kelinci, serta cerita singa, serigala dan rubah.

Uraian tentang singa dan kelinci saya tulis pada bagian ke-1 dari dua tulisan ini. Pada bagian ke-2 ini saya akan membahas tentang cerita singa, serigala dan rubah.

Fabel dalam Matsnawi I

Pada bagian pertama dari dua tulisan tentang Rumi, saya menulis bahwa setiap jilid Matsnawi mempunyai tema besar. Jilid I tentang nafs (ego), jilid II tentang iblis; jilid III tentang akal; jilid IV tentang pengetahuan; jilid V tentang fakir; jilid VI tentang tauhid.

Matsnawi termasuk sastra lama Persia yang banyak mengandung nasihat atau kata-kata bijak. Nasihat itu disampaikan dengan perumpamaan, misalnya cerita hewan.

Pada Matsnawi I Rumi digambarkan bagaimana seekor singa berubah, dari sosok dengan “aku” besar, ingin diladeni, dan rakus, namun kemudian menjadi sosok yang sadar dengan kekhilafannya. Perubahan itu terdapat pada cerita singa dan kelinci.

Kalau ada ungkapan “singa adalah raja hutan”, sebetulnya kurang tepat, karena singa tidak hidup di hutan, tetapi di padang rumput (di antaranya Afrika dan India). Dalam cerita singa dan kelinci memang digambarkan singa mendatangi lembah yang didiami hewan-hewan, bukan hutan. 

Sekawanan hewan hidup di lembah yang tenang

terganggu dengan kedatangan seekor singa.

(Bait ke-900)

Jadi lebih tepat singa disebut sebagai “raja para hewan”. Menurut Wikipedia, singa perlu makanan minimal 5 kg, dan mampu menyantap 30 kg daging, dan itu pasti dengan cara memangsa hewan-hewan. Pada cerita singa dan kelinci, singa menjadi raja karena ditakuti. Hewan-hewan menyerah jadi santapannya. Namun ternyata singa kalah cerdas dibanding hewan kecil lembut, kelinci. Hewan itulah  yang membuat singa menyadari keburukan sifatnya.

Cerita Singa, Serigala dan Rubah

Berbeda dengan cerita pertama, pada cerita kedua singa dipadankan dengan dua binatang buas, yaitu serigala, dan rubah. Dikisahkan mereka bertiga berburu bersama ke gunung. Sebetulnya singa enggan terlihat berjalan bersama hewan yang berkedudukan lebih rendah, namun dia mengesampingkan perasaan itu.

Singa ingin kedua temannya merasakan manfaat kehadiran dirinya. Memang, karena kekuatan singa, mereka berhasil menangkap banteng yang besar, kambing gunung, dan kelinci gemuk. Mereka pun menyeret hasil buruan ke padang rumput, yang dimungkinkan karena tenaga singa yang besar.

Singa tahu bahwa serigala dan rubah sudah lapar namun takut membahas masalah pembagian mangsa. Singa dapat membaca pikran teman-temannya yang berharap akan mendapat sebagian besar hasil tangkapan.

Singa pun meminta serigala untuk melakukan pembagian dengan adil. Serigala mengatakan bahwa banteng besar untuk singa, kambing gunung untuk dirinya, dan kelinci untuk rubah.

Singa melihat bahwa bahwa cara serigala membagi makanan menunjukkan sifat egois. Serigala menyebutkan “aku” yang menandakan bahwa hewan itu masih memikirkan dirinya. Singa pun membunuh serigala.

Lalu singa meminta rubah membagi daging. Dengan ketakutan rubah mengatakan bahwa banteng untuk sarapan singa, kambing gunung untuk makan siang singa, dan kelinci untuk makan malam singa.

Singa bertanya, dari mana rubah belajar cara membagi yang baik itu. Rubah menjawab, dari peristiwa yang dialami serigala. Karena kecermatan rubah, singa pun menyerahkan seluruh hasil buruan untuk rubah.

Pesan Rumi

Pada cerita singa, serigala dan rubah dikisahkan bagaimana singa mengesampingkan kedudukan dirinya yang tinggi, dan berburu bersama kedua teman yang lebih kecil. Singa ingin kedua temannya mendapatkan kebahagiaan dengan berburu bersama raja hutan.

Rumi menulis bahwa sikap singa seperti bulan pada malam hari. Dengan sinar paling terang, bulan memberi cahaya kepada bintang-bintang di kegelapan.

A moon like this is disgraced by the stars:

it is amongst the stars for generosity’s sake.

Bagi bulan, adalah kehinaan berada di antara bintang-bintang;

ia  berada di antara bintang-bintang atas tujuan mulia.

(Bait ke-3018)

Singa dan bulan bersikap rendah hati, mengikuti perintah Allah dalam Surat Ali Imran ayat ke-159. Di ayat itu Allah meminta Muhammad untuk bermusyarawah dengan umatnya, sekalipun kedudukannya lebih tinggi.

The command, Consult them, came to the Prophet,

though no counsel is to be compared with his own.

Perintah kepada Nabi, bermusyarawahlah dengan mereka,

sekalipun tak ada pendapat sebanding dengan pemikiran Nabi.

(Bait ke-3019)

Sikap tidak mementingkan “aku” adalah jalan untuk mencapai tingkat spiritual yang tinggi. Seperti halnya Muhammad. sekalipun ia seorang rasul yang bijak, ia perlu bertanya kepada umatnya sebelum memutuskan sesuatu.

Di dalam fabel itu terlihat tingkatan spiritual yang berbeda. Tingkat terendah adalah nafs, yang dilambangkan oleh serigala, yang masih berpikir tentang “aku”. Tingkat pertengahan adalah aql (kecerdasan), dilambangkan oleh rubah yang memakai akalnya dan belajar. Tingkat tertinggi adalah ruh, yang dilambangkan oleh singa, makhluk yang tidak lagi mementingkann dirinya.

Kita pasti heran, mengapa serigala dibunuh hanya karena dia mengatakan “aku”. Secara harafiah memang serigala yang dibunuh, namun sesungguhnya yang dilenyapkan adalah pikiran yang masih mementingkan “aku”.

Di dalam sajak itu Rumi mengatakan bahwa dalam tingkat spiritual yang tinggi seperti para sufi, tidak ada “aku” dan “kau” karena semua sudah melebur menjadi satu kesatuan menuju jalan Ilahi. 

Penjelasan tentang spiritualisme itu dijabarkan Rumi dengan menyelipkan dalam percakapan antara tamu dan pemilik rumah dalam sajak singa, serigala dan rubah.

His friend called to him, “Who is at the door?”

He answered, “It is you are at the door, O charmer of hearts.”

“Now,” said the friend, “since you are I, come in, O myself:

there is not room in the house for two I’s.

Pemilik rumah bertanya kepada tamu, “Siapa di pintu?”

Tamu menjawab, “Aku adalah engkau hati yang baik.”

“Kalau begitu,” kata pemilik rumah. “karena kau adalah aku, masuklah:

tidak ada tempat untuk dua aku di rumah ini.”

(Bait ke-3062 dan 3063)

Safavi dan Weightman dalam buku Mystical Design mengatakan bahwa tamu itu adalah Sham, pembimbing spiritual Rumi, sedangkan pemilik rumah adalah Rumi. Di sajak itu Sham datang kembali setelah menghilang satu tahun. Kepergian Sham yang tiba-tiba membuat Rumi gundah. Namun hal itu memang disengaja oleh Sham agar Rumi belajar mengikis egoisme. Ketika Sham kembali, Rumi sudah berubah. Dia menolak munculnya “aku”, karena “aku” dan “kamu” telah melebur dengan alam, sekeliling dan cinta Tuhan. 

Bisa juga pemilik rumah adalah Sham, artinya seorang guru yang menyambut kedatangan muridnya, yang datang dengan sosok berbeda. Murid ini tidak menganggap dirinya berbeda dengan tuan rumah, karena itu dia mengatakan bahwa dirinya adalah “kau”. Lagi-lagi ini adalah penyatuan “aku dan kau”

Abdul Hadi dalam Masnawi, Senandung Cinta Abadi, mengatakan bahwa penyatuan itu merupakan bagian dari mistisisme cinta, yaitu pembebasan diri dari keterpisahan atau nafs, dan menyatukan diri dengan orang lain, alam, dan Tuhan.

Cerita singa bukan hanya tentang hewan perkasa, tetapi Rumi menguliknya dengan dalam.

Bacaan tentang Rumi

Masnawi dalam Bahasa Indonesia

Jalaluddin Rumi. (2008). Rumi’s Daily Secret, Renungan Harian untuk Mencapai Kebahagiaan. (Ali Audah, Penyunt., & HB Jassin, Penerj.) Yogyakarta: Bentang.

Jalaluddin Rumi. (2017). Masnawi, Senandung Cinta Abadi. (Abdul Hadi WM, Penerj.) Yogyakarta: IRCiSoD.

Maulana Rumi. (2021). Matsnawi Maknawi (Vol. I & II). (Muhammad Nur Jabir, Penerj.) Yogyakarta: DivaPress.

Buku Masnawi dalam Bahasa Inggris                         

 

Jalaluddin Rumi. (1994). Rumi Daylight. (Edmund Kabir Helminski, Penerj.) Boston: Shambala.

The Treshold Society. (2022). Mesnevi Resources, I-VI. Diambil kembali dari The Treshold Society: https://sufism.org/library/rumi-resources

Kajian Rumi

 

Annemarie Schimmel. (1980). The Triumphal Sun. London: East West Publication.

Seyed Safavi, & Simon Weightman. (2009). Rumi’s Mystical Design. Albany, NY: State University of New York Press.

Biografi

 

Brad Gooch. (2017). Rumi’s Secret. New York: Harper Collins.